Header Ads

3 Jalan Keluar untuk Akhiri Lara Rohingya

1. Kembali ke Dalam Negeri

Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)

Pada dasarnya, isu Rohingya adalah perkara kewarganegaraan. Myanmar menganggap Rohingya merupakan warga asli Bangladesh, dus, mendapatkan panggilan Bengali. Padahal, orang Rohingya telah tinggal di Myanmar sejak berabad-abad sebelumnya --tepatnya pada abad 8 saat Rakhine masih merupakan salah satu bagian dari Kerajaan Arakan.
Sialnya, Bangladesh juga tak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Mereka menganggap Rohingya sudah menjadi bagian dari Myanmar. Menerima Rohingya, bagi Bangladesh, hanya akan memberi tanggungan ekonomi lebih besar sementara ia sendiri negara miskin. Sungguh repot.
Maka --sebetulnya-- jawabannya mudah: Myanmar harus memasukkan Rohingya sebagai etnis minoritas ke-136 yang diakui oleh pemerintah. Selain itu, Myanmar juga harus memberikan hak kewarganegaraan bagi Rohingya.

Namun mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar, konflik berdarah harus dibereskan terlebih dahulu. Dan untuk membereskannya, pemerintah Aung San Suu Kyi dan National League for Democracy (NLD)-nya mutlak harus mendapatkan dukungan dari militer. Bukan perkara gampang, memang.


2. Militer Myanmar
Naiknya Suu Kyi ke atas tampuk politik Myanmar tak akan pernah bisa dilakukan tanpa peran besar militer.
Dalam konstitusi yang diratifikasi tahun 2008, militer benar-benar mendapat pos kekuatan yang amat besar di peta politik Myanmar. Selain memegang 25 persen kursi di parlemen, militer Myanmar juga diberi pos di kementerian yang mengurusi persoalan dalam negeri, pertahanan, dan perbatasan.
Militer juga punya peran besar di National Defense and Security Council (NDSC) Myanmar. Di badan yang cuma punya 11 anggota tersebut, terletaklah keputusan-keputusan penting terkait banyak hal di Myanmar. NDSC merupakan otoritas tertinggi bagi hal-hal kenegaraan Myanmar, dan anggotanya didominasi oleh militer atau orang-orang dekat mereka.
Mengingat NDSC dan beberapa pos kementerian didominasi militer, pandangan kubu tersebut dapat dipahami lebih berpengaruh ketimbang NLD yang didominasi sipil. Maka, di tengah peta dan struktur politik hybrid yang terdiri dari militer dan pemerintah sipil, Suu Kyi dan Presiden Htin Kyaw harus terlebih dahulu memenangkan pendapat militer yang sangat berpengaruh.
Meski begitu, upaya tersebut dipastikan sulit tercapai dalam waktu dekat. Keputusan militer menembaki orang-orang Rohingya serta membakari daerah-daerah di Rakhine, sebetulnya memang bertujuan untuk membuat orang Rohingya angkat kaki dari Myanmar.
Laporan Anders Corr dari Forbes menyebutkan, bahwa tanah dan ladang yang ditinggal orang Rohingya yang mengungsi disulap menjadi lahan agribisnis bagi petinggi-petinggi militer Myanmar.
3. Peran Agresif ASEAN
image: https://gimg.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_lossy,w_800/tyrnkl2tmarlxuat0r6u.jpg
Peringatan HUT ke-50 ASEAN
ASEAN pernah berhasil dalam memediasi konflik junta Myanmar dan Aung San Suu Kyi di awal 2000-an. Maka, maklum saja apabila ASEAN memperoleh banyak desakan untuk lebih aktif dalam masalah Rohingya ini.
Meski demikian, ASEAN punya beberapa prinsip yang justru mempersulit efektivitas geraknya. Satu yang paling nyata adalah prinsip non-interference. Prinsip tersebut, sederhananya, melarang sebuah (atau lebih) negara mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Penjelasan lebih lanjut bisa dibaca di sini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.